GURU NAHUM SITUMORANG
Mungkin ada beberapa diantara kita bahkan orang batak yang tidak mengenal sosok Nahum Situmorang. Pernah dengar lagu LISSOI? Atau MARIAM TOMONG MARIAM MORTIR? Atau PULO SAMOSIR? Atau SITOGOL? Itu lagu ciptaan sang legenda musik dari tanah Batak ini. Dan banyak lagi hasil karya dari sang maestro ini..
Nahum Situmorang lahir di Sipirok pada tanggal 14 Februari 1908, putra dari Guru Kilian Situmorang, sebagai anak ke-5 dari 8 bersaudara.Karirnya sebagai penyanyi dimulai sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Pendidikannya yang terakhir adalah sekolah guru Kweekschool di Lembang, Bandung, lulusan tahun 1928.Nahum turut dalam barisan Perintis Kemerdekaan sebagai anggota Kongres Pemuda pada tahun 1928 dan mengikuti sayembara untuk menciptakan lagu kebangsaan. Sayembara ini dimenangkan oleh WR Supratman, sementara Nahum mendapatkan tempat kedua.Nahum mulai bekerja pada tahun 1929 pada sekolah partikelir Bataksche Studiefonds di Sibolga hingga tahun 1932.
Tahun 1932 kemudian pindah ke Tarutung untuk bergabung dengan abangnya Guru Sophar Situmorang dan mendirikan HIS-Partikelir Instituut Voor Westers Lager Onderwijs yang berlangsung hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942.Seumur hidupnya Nahum tidak pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah penjajah Belanda. Semasa mudanya ia telah berkali-kali memenangkan sayembara lagu-lagu, antara lain Sumatera Keroncong Concours di Medan (1936) dan waktu itu rombongan Nahum Situmorang dipimpin oleh Raja Buntal Sinambela, putra Sisingamangaraja XII.Pada tahun 1942-1945, Nahum membuka restoran dan menjadi pemusik Jepang Sendenhan Hondohan. Dari tahun 1945-1949, ia menjadi pedagang permata dan emas, dalam pada itu berkarya menciptakan lagu-lagu perjuangan.Pada tahun 1949, Nahum pindah ke Medan dan menjadi broker mobil sambil tetap meneruskan karirnya sebagai penyanyi dan pencipta lagu. Keistimewaan nahum yang dikagumi adalah bahwa dia sanggup menciptakan beserta syair-syairnya dan sekaligus menyanyikannya.
Ia juga dapat memimpin band-nya sendiri serta sanggup memainkan berbagai instrumen musik. Ia bahkan dapat mencipta lagu saat berada di tengah-tengah orang banyak. Tahun 1950-1960 merupakan kurun waktu dimana Nahum paling produktif mencipta lagu.Pada tahun 1960, Nahum dan rombongan berkunjung ke Jakarta untuk mengadakan beberapa pertunjukan dan mendapat sambutan yang meriah dari masyarakat dan menerima pujian dari pejabat-pejabat pemerintah serta orang-orang asing (anggota kedutaan) yang turut menyaksikan pertunjukannya.Surat-surat penghargaan dari organisasi kebudayaan, masyarakat dan dari pemerintah telah berkali-kali ia peroleh.
Terakhir Nahum memperoleh penghargaan Anugerah Seni dari pemerintah Indonesia pada tanggal 17-08-1969.Selama hidupnya Nahum telah menciptakan sebanyak kurang lebih 120 lagu, dan sampai akhir hayatnya dia tetap tidak kawin.Beberapa karyanya yang tidak asing lagi di telinga kita : Alusi Ahu, Anakhonhi Do Hasangapon Di Ahu, Ansideng Ansidoding, Beha Pandundung Bulung, Da Na Tiniptip Sanggar, Dengke Julung Julung, Dijou Ahu Mulak Tu Rura Silindung, Ee Dang Maila Ho, Ketabo-Ketabo, Lissoi, Marhappy-Happy Tung So Boi, Malala Rohangki, Marombus Ombus, Nahinali Bangkudu, Nasonang Do Hita Nadua, Nunga Lao Nunga Lao, O Tao Toba, Pulo Samosir, Sai Gabe Ma Ho, Sai Tudia Ho Marhuta, Sega Na Ma Ho, Sitogol, Tumba Goreng, Utte Malau, dll.Pada akhir tahun 1966 Nahum jatuh sakit dan dirawat di RSUP Medan selama hampir 3 tahun hingga akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 20 Oktober 1969 tanpa menikah…
Pusara Nahum Situmorang hingga kini masih tetap berada di balik debu dan deru suara hingar bingar kenderaan kota Medan. Keadaan ini menunjukkan suatu fenomena ketidakpedulian. Pada hal, Nahum senantiasa menanti jawaban atas harapan yang mengiinginkan pusaranya dipindahkan ke bonapasogit (kampung halaman) di Pulau Samosir sebagaimana terpatri di dalam lagu berjudul, PULO SAMOSIR. “Molo marujungma muse ngolungku sarihonma, anggo bangkekku di si tanomonmu, di si udeanku, sarihonma”. (Artinya, jika nanti aku mati, camkanlah bahwa jasadku akan kau makamkan di Pulau Samosir, di sanalah pusaraku, penuhilah“). Sebuah “permintaan” dari seorang legenda musik Batak yang meski sudah tiada namun masih bisa kita nikmati hasil karyanya, akan tetapi…. belum bisa terpenuhi….
Nahum Situmorang lahir di Sipirok pada tanggal 14 Februari 1908, putra dari Guru Kilian Situmorang, sebagai anak ke-5 dari 8 bersaudara.Karirnya sebagai penyanyi dimulai sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Pendidikannya yang terakhir adalah sekolah guru Kweekschool di Lembang, Bandung, lulusan tahun 1928.Nahum turut dalam barisan Perintis Kemerdekaan sebagai anggota Kongres Pemuda pada tahun 1928 dan mengikuti sayembara untuk menciptakan lagu kebangsaan. Sayembara ini dimenangkan oleh WR Supratman, sementara Nahum mendapatkan tempat kedua.Nahum mulai bekerja pada tahun 1929 pada sekolah partikelir Bataksche Studiefonds di Sibolga hingga tahun 1932.
Tahun 1932 kemudian pindah ke Tarutung untuk bergabung dengan abangnya Guru Sophar Situmorang dan mendirikan HIS-Partikelir Instituut Voor Westers Lager Onderwijs yang berlangsung hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942.Seumur hidupnya Nahum tidak pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah penjajah Belanda. Semasa mudanya ia telah berkali-kali memenangkan sayembara lagu-lagu, antara lain Sumatera Keroncong Concours di Medan (1936) dan waktu itu rombongan Nahum Situmorang dipimpin oleh Raja Buntal Sinambela, putra Sisingamangaraja XII.Pada tahun 1942-1945, Nahum membuka restoran dan menjadi pemusik Jepang Sendenhan Hondohan. Dari tahun 1945-1949, ia menjadi pedagang permata dan emas, dalam pada itu berkarya menciptakan lagu-lagu perjuangan.Pada tahun 1949, Nahum pindah ke Medan dan menjadi broker mobil sambil tetap meneruskan karirnya sebagai penyanyi dan pencipta lagu. Keistimewaan nahum yang dikagumi adalah bahwa dia sanggup menciptakan beserta syair-syairnya dan sekaligus menyanyikannya.
Ia juga dapat memimpin band-nya sendiri serta sanggup memainkan berbagai instrumen musik. Ia bahkan dapat mencipta lagu saat berada di tengah-tengah orang banyak. Tahun 1950-1960 merupakan kurun waktu dimana Nahum paling produktif mencipta lagu.Pada tahun 1960, Nahum dan rombongan berkunjung ke Jakarta untuk mengadakan beberapa pertunjukan dan mendapat sambutan yang meriah dari masyarakat dan menerima pujian dari pejabat-pejabat pemerintah serta orang-orang asing (anggota kedutaan) yang turut menyaksikan pertunjukannya.Surat-surat penghargaan dari organisasi kebudayaan, masyarakat dan dari pemerintah telah berkali-kali ia peroleh.
Terakhir Nahum memperoleh penghargaan Anugerah Seni dari pemerintah Indonesia pada tanggal 17-08-1969.Selama hidupnya Nahum telah menciptakan sebanyak kurang lebih 120 lagu, dan sampai akhir hayatnya dia tetap tidak kawin.Beberapa karyanya yang tidak asing lagi di telinga kita : Alusi Ahu, Anakhonhi Do Hasangapon Di Ahu, Ansideng Ansidoding, Beha Pandundung Bulung, Da Na Tiniptip Sanggar, Dengke Julung Julung, Dijou Ahu Mulak Tu Rura Silindung, Ee Dang Maila Ho, Ketabo-Ketabo, Lissoi, Marhappy-Happy Tung So Boi, Malala Rohangki, Marombus Ombus, Nahinali Bangkudu, Nasonang Do Hita Nadua, Nunga Lao Nunga Lao, O Tao Toba, Pulo Samosir, Sai Gabe Ma Ho, Sai Tudia Ho Marhuta, Sega Na Ma Ho, Sitogol, Tumba Goreng, Utte Malau, dll.Pada akhir tahun 1966 Nahum jatuh sakit dan dirawat di RSUP Medan selama hampir 3 tahun hingga akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 20 Oktober 1969 tanpa menikah…
Pusara Nahum Situmorang hingga kini masih tetap berada di balik debu dan deru suara hingar bingar kenderaan kota Medan. Keadaan ini menunjukkan suatu fenomena ketidakpedulian. Pada hal, Nahum senantiasa menanti jawaban atas harapan yang mengiinginkan pusaranya dipindahkan ke bonapasogit (kampung halaman) di Pulau Samosir sebagaimana terpatri di dalam lagu berjudul, PULO SAMOSIR. “Molo marujungma muse ngolungku sarihonma, anggo bangkekku di si tanomonmu, di si udeanku, sarihonma”. (Artinya, jika nanti aku mati, camkanlah bahwa jasadku akan kau makamkan di Pulau Samosir, di sanalah pusaraku, penuhilah“). Sebuah “permintaan” dari seorang legenda musik Batak yang meski sudah tiada namun masih bisa kita nikmati hasil karyanya, akan tetapi…. belum bisa terpenuhi….
Komentar
Posting Komentar